Jumat, 15 Juni 2012

SEJARAH BUTON UTARA

Sejarah Buton Utara adalah sejarah yang (lebih) terabaikan

Posted on 12 September 2011 by la ismet


Bagaimana suatu kaum memaknai latar belakang kesejarahannya ? Ada banyak kutipan dari para tokoh yang mencoba memberi tafsir atas pertanyaan itu. Bung Karno mengingatkan agar bangsa ini tidak sekali-sekali melupakan sejarah. Bahkan dalam konteks ini beliau mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya (sejarahnya). Ada pula tokoh yang mengatakan bahwa sejarah selalu berulang, dan barang siapa yang tidak pernah belajar dari sejarah akan jatuh kembali pada lubang (persoalan) yang sama. Begitu penting pembelajaran tentang sejarah suatu kaum sehingga dengan dengan hanya mempelajari sejarahnya, pengetahuan tentang kaum/daerah tersebut akan mudah dipahami.

Sejarah bukan hanya kisah tentang para raja atau pemimpin, sejarah juga berbicara tentang bagaimana struktur masyarakat terkecil dibangun. Sejarah juga tidak hanya berbicara tentang si besar yang mengatur politik pemerintahan, ia juga berbicara bagaimana si kecil mengais kehidupan untuk mempertahankan diri. Pula tentang bagaimana si terpinggir merenda harapan akan kemajuan daerahnya setara dengan keinginan mereka-mereka yang yang berada di sentrum kekuasaan.

Jazirah Sulawesi Tenggara juga kaya akan nilai kesejarahan. Pelbagai manuskrip kuno seperti Negarakertagama pernah menorehkan kisah tentang masyarakat yang mendiami jazirah ini. Demikian pula catatan perjalanan para petualang masa lalu seperti Ibnu Batutah yang mengamini adanya kehidupan yang teratur di wilayah tersebut.

Kitab Negarakartagama yang ditulis Prapanca pada pupuh 95 menyebutkan : “Ikang sakasaning sanusa Makasar, Butun, Banggawai, Kunir, Galiyo Mewangi Salaya Solor muar muwah tikang I wanda Ambwan alhawi Maluku ri Seram i timur makadi niang angkeri nusatun”

Dari berbagai sumber seperti manuskrip atau catatan perjalanan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa di jazirah Sulawesi Tenggara ini pernah hadir suatu Kerajaan yang berkembang menjadi kesultanan menyebut dirinya Butuni, orang majapahit menyebutnya Butun, orang Bugis menyebutnya Butung dan Belanda menyebutnya Buton atau Butong (Bouthong).

Dalam khazanah sejarah Buton, dikenal Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil). Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta yang melibatkan seluruh rakyat dengan falsafah perjuangan yaitu :“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo”(Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu”(Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara”(Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama”(Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Selain itu, dibentuk juga sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata yang dikenal dengan nama Barata Patapalena (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (yang melakukan pertahanan secara kebatinan).

Dari empat negeri Barata, posisi Kulisusu (orang Buton melafalkannya dengan Kolencusu) yang berada di bagian timur laut ibukota Kesultanan Buton sangat strategis. Disebut strategis karena Kulisusu berfungsi membendung pengaruh Kerajaan Ternate yang sangat kuat secara geopolitik. Pada waktu itu, Buton sedang terombang-ambing antara pengaruh Gowa di Barat dan Ternate di Timur (baca Susanto Zuhdi : labu rope labu wana).

Bagaimana peran Barata Kulisusu pada saat berkecamuknya upaya membendung hegemoni Gowa dan Ternate di Kesultanan Buton masih merupakan misteri. Kekurangan data atau informasi yang bersifat kesejarahan tentang peran tersebut menciptakan ruang kosong sejarah yang sangat krusial bagi keberadaan orang kulisusu saat ini.

Tidak banyak informasi bernilai sejarah yang dapat digunakan untuk mengungkap peran Kulisusu pada saat itu. Dari tulisan Alimuddin di Koran radar Buton pada kamis 16 Juni 2011 menyebutkan bahwa pada tahun 1580 ketika Sultan Buton IV menerima tuntutan La Ode Ode, Laode Jou Raja Kumapa dan Laode Side Raja Matantahi untuk membentuk Kerajaan Kulisusu dengan pembagian kewenangan yang adil dimana ketiganya sepakat untuk mengangkat La Ode Ode sebagai Raja Kulisusu serta Raja Laode Jou menjadi Bontona Kampani dan Raja Laode Side menjadi Bontona Kancua-Ncua.

Tulisan ini sangat menarik meskipun juga mengundang pertanyaan karena pada masa Kesultanan Murhum dan penggantinya, Sultan La Tumparisi, beberapa kali armada kesultanan dikirim ke wilayah Kulisusu bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk menghadang serangan bajak laut yang disinyalir merupakan provokasi dari Kerajaan Ternate. Artinya secara sosial, masyarakat Kulisusu telah terbangun sebagai sebuah komunitas yang teratur, jauh sebelum Sultan Buton IV La Elangi (bergelar Dayanu Ikhsanuddin) menyetujui pembentukan Kerajaan Kulisusu.

Selain itu, menurut Alimuddin yang mengutip Ligtvoet, Sarana Wolio menyetujui pembentukan Barata Kulisusu pada tahun 1580 meliputi wilayah bagian Selatan dengan Sungai Bubu berbatasan dengan wilayah Lakina Pongkowulu dan di bagian Utara dengan sungai Laea Labuan Belanda berbatasan dengan wilayah Lakina Koroni kecamatan Wakorumba utara saat ini.

Kalau hal itu dijadikan patokan, maka nyatalah bahwa kalimat “Lipu Tinadeakono Sara” sebagaimana terkenal dalam tuturan masyarakat Kulisusu dan kemudian diambil alih ke dalam logo Kab. Buton Utara bermakna sebagai Negeri yang didirikan oleh Pemerintahan (Syara’) Buton. Hal ini mementahkan anggapan yang beredar bahwa Barata Kulisusu didirikan dari bawah berdasarkan kehendak masyarakat (bottom up) sebagaimana Teori Perjanjian Masyarakat dalam khasanah ilmu sosiologi. Sejatinya, ia didirikan/dibentuk dari atas (top down) dan disematkan pada suatu negeri yang kemudian dikenal dengan nama Barata Kulisusu.

Tentunya hal itu masih menyisakan perdebatan tentang kebenaran yang senyatanya. Juga menciptakan ruang untuk memperjelas bagaimana posisi dan pentingnya pembentukan Barata Kulisusu oleh Syara’ Kesultanan Buton. Kalau Prof. Susanto Zuhdi menyebut sejarah Buton sebagai sejarah yang terabaikan maka sesungguhnya sejarah Negeri Buton Utara adalah sejarah yang (lebih) terabaikan.

Apa boleh buat, kita terpaksa harus belajar tentang sejarah negeri kita melalui sejarah negeri lain. Semoga ini membuka mata kita semua (utamanya yang memiliki kepedulian dan latar belakang akademik) untuk mengungkap berbagai misteri sejarah agar kita mengetahui dari mana darah kita diturunkan…
Bagi-bagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar