Menurut peneliti dari Universitas Bristol, anak-anak yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan televisi atau konsol game akan
lebih rentan mengalami kesulitan psikologis, seperti masalah yang
terkait dengan teman sebayanya, masalah emosi, hiperaktif, atau menyukai
hal-hal yang menantang dibanding dengan anak yang jarang menonton TV.
Berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya, dampak negatif menonton TV ternyata tidak bisa diperbaiki
dengan meningkatkan aktivitas fisik.
Kesimpulan tersebut dibuat berdasarkan
penelitian yang dilakukan terhadap 1.013 anak berusia 10-11 tahun yang
melaporkan rata-rata waktu yang mereka habiskan di depan televisi atau
komputer, baik itu untuk bermain game maupun mengerjakan PR. Selain itu, anak-anak itu juga diminta mengisi kuesioner untuk mengetahui status psikologis mereka.
Hasilnya, anak-anak yang menonton TV atau
memainkan permainan komputer lebih dari dua jam setiap hari memiliki
masalah psikologis lebih tinggi dibanding dengan anak yang waktu
menontonnya lebih sedikit. Bahkan, meski anak-anak yang gemar di depan
televisi itu aktif secara fisik, kesulitan psikologis yang dialaminya
dinilai tetap tinggi.
Televisi dan Kekerasan
Pada dasarnya televisi memiliki banyak
fungsi bagi kehidupan masyarakat, menurut pakar komunikasi Harold D.
Laswell mempunyai tiga fungsi,dimana setiap fungsi tidak berdiri sendiri
melainkan akansaling menunjang.a. Media massa bertindak sebagai
pengamat lingkungan danselalu akan memberikan berbagai informasi atas
hal-halyang tidak dapat terjangkau khalayak.b. Media massa sebagai gate keeper
artinya lebihmenekankan kepada pemilihan, penilaian, penafsirantentang
apa yang patut di sampaikan kepada khalayak. c. Media massa berfungsi
sebagai jembatan tata nilai danbudaya dari generasi satu ke generasi
berikutnya, ataudapat di katakan sebagai media pendidikan.
TV sebagai media komunikasi massa yang
sangat disukai oleh anak-anak dapat memberikan dampak terhadap perilaku
mereka. Beberapa temuan menunjukkan bahwa perilaku anak cenderung kepada
tindak kekerasan. Dr. Jesse Steinfield melaporkan studinya bahwa 94,3 %
film kartun menyajikan adegan kekerasan, 81, 6 % sajian-sajian prime
time menyuguhkan hal serupa. Selanjutnya diperkirakan anak-anak normal
yang tumbuh di tahun 60 an dan awal 1970 an telah menelan 20.000 sajian
kekerasan di TV saat mereka berusia 19 tahun. Zhao Yuhui, melaporkan
bahwa pada tahun 1986 ada seri TV berjudul Garrison’s Gorillas di TV
China. Karena tayangan tersebut kemudian banyak bermunculan
kelompok-kelom-pok Garrison’s Gorillas di SMP bahkan SD. Mereka melempar
batu-batu ke jendela sekolah dan merusak bangku. Banyak guru dan
orangtua protes sehingga tayangan di China Central TV tersebut kemudian
distop. (Unesco, 1994). Dalam polling pendapat yang dilaksanakan oleh
pihak kepolisian di Singapura disebutkan bahwa dari 50 pemuda yang
terlibat pada tindak kekerasan, umumnya menikmati film-film kekerasan di
TV, melihat orang-orang dipukul atau dibunuh dilayar kaca tersebut (
Unesco, 1994). Sebuah survey pernah dilakukan Christian Science Monitor
(CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 – 17
tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi
anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26%
mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi. Studi
tim dari Universitas Massachusetts, Amherst, AS, menemukan ketika
anak-anak yang berusia tiga tahun ke bawah bermain di dalam ruangan yang
ada televisi, waktu bermain mereka 5% lebih singkat ketimbang jika
tidak ada televisi. Keberadaan televisi juga membuat mereka tidak fokus
saat bermain. Studi yang dimuat dalam Child Development edisi
Juli/Agustus itu melibatkan 50 balita yang berusia antara 12, 24, dan 36
bulan.
Dr Daniel Bronfin dari Ochsner Health
System, New Orleans, mengungkapkan televisi berpotensi menaikkan risiko
terjadinya gangguan perilaku pada anak-anak, seperti kesulitan
memusatkan perhatian dan hiperaktivitas. American Academy of Pediatrics
(AAP) menyarankan agar anak-anak berusia dua tahun atau kurang tidak
diberi akses menonton televisi.
Temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa
film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan
anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula
tayangan film lainnya khususnya film import membawa muatan negatif,
misalnya film kartu Batman dan Superman menurut hasil penelitian Stein
dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif
yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun
seperti Batman dan Superman.
Mengembalikan Peran Sosial Televisi
Stephen R Covey dalam bukunya The 7
Habits of Highly Effective Families (1999) bahwa kebanyakan keluarga
akan mengalami kesulitan ketika harus memilah dan memilih siaran TV yang
cocok, khususnya bagi keluarga yang memiliki anak-anak dan remaja.
Memilih acara TV yang cocok, sama halnya dengan memilih salad yang
bercampur-aduk dari tumpukan sampah. Mungkin ada sedikit salad yang enak
di sana, tetapi cukup sulit memisahkan sampahnya, kotorannya dan
lalat-lalatnya.
Lebih lanjut, Covey mengingatkan bahwa
membiarkan anak-anak menonton TV tanpa pengawasan dari orang tua, sama
halnya dengan mengundang seorang asing ke dalam rumah Anda selama
beberapa jam setiap hari. Orang asing tersebut, memberitahukan kepada
anak-anak Anda tentang segala hal mengenai dunia yang jahat; tentang
bagaimana cara menyelesaikan masalah secara pintas, tentang pesta, seks
dan kecantikan serta kemewahan sebagai segala-galanya.
Kesemuanya itu terjadi, di mana para
orangtua banyak tidak menyadari bahwa karakter anak-anak mereka telah
dipercayakannya untuk dibentuk oleh siaran TV. Guru tak diundang
tersebut, yang setiap hari datang menjenguk sang anak, telah dengan
begitu leluasanya membentuk karakter sang anak secara tidak terduga.
Ahli komunikasi massa Harold D Lasswell
dan Charles Wright (1954) menyatakan bahwa ada empat fungsi sosial media
massa, yaitu pertama, sebagai social surveilance. Pada fungsi ini,
media massa termasuk media televisi, akan senantiasa merujuk pada upaya
penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai
peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan kontrol
sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam
lingkungan masyarakat bersangkutan.
Kedua, sebagai social correlation. Dengan
fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran
informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok
sosial lainnya. Begitupun antara pandangan-pandangan yang berbeda, agar
tercapai konsensus sosial.
Ketiga, fungsi socialization. Pada fungsi
ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai luhur
dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke
kelompok lainnya. Keempat, fungsi entertainment. Agar tidak membosankan,
sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada
khalayaknya. Hanya saja, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan
mewarnai siaran televisi kita, sehingga ketiga fungsi lainnya, seolah
telah terlupakan. Pertanyaan yang masih ada adalah, bersediakah kita
memulai untuk mengembalikan televisi pada fungsi sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar